KEESAAN
GEREJA DALAM PERSPEKTIF YOHANES 17
Oleh
Pdt. Yuliana Tacoh, S.PAK., M.Pd[1]
1.
Pendahuluan
Gereja
adalah persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus. Ia lahir seiring
kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus di dunia. Karena itu, apa yang disebut
gereja perdana adalah persekutuan para murid Yesus dan ditambah dengan beberapa
orang lain yang telah mengaku Yesus sebagai Tuhan dan menjadi saksi atas
kebangkitanNya. Gereja perdana ini memiliki semangat persekutuan, pelayanan,
dan kesaksian yang kuat, sehingga iman
Kristen mulai tersebar dari Yerusalem, seluruh daerah Yudea, Samaria, dan
sampai ke ujung dunia (Kis. 1:8). Salah seorang murid Yesus yang giat dalam
pekabaran Injil ini adalah rasul Paulus. Ia mengabarkan Injil hampir di seluruh
wilayah kekuasaan Romawi pada abad pertama, baik di kalangan orang-orang Yahudi
diaspora maupun orang-orang bukan Yahudi. Selain rasul Paulus, para murid yang
lain juga aktif mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Konon rasul Thomas
mengabarkan Injil sampai ke India. Karena itu, pada akhir abad pertama dan
memasuki abad kedua, sejumlah jemaat-jemaat Kristen lahir dan bertumbuh di
seluruh wilayah kekuasaan Romawi, dengan latar belakang suku bangsa, bahasa,
dan tradisi yang berbeda. Namun demikian, jemaat-jemaat ini mengakui keesaan
mereka di dalam iman kepada Yesus Kristus dan di dalam tugas panggilan mereka
untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani sebagai jemaat-jemaat Kristen. Jadi,
keesaan mereka pertama-tama terletak pada iman mereka kepada Yesus Kristus dan
panggilan mereka untuk bersaksi di dalam dunia.
Dalam
abad-abad selanjutnya iman Kristen terus bergerak meluas ke Afrika dan Eropa. Pada
periode penjelajahan Samudra di akhir abad pertengahan, iman Kristen bergerak dari
Eropa dan menyebar di wilayah Asia termasuk Indonesia. Hasilnya adalah
bertumbuhnya sejumlah besar gereja dan jemaat lokal di Asia pada umumnya dan
Indonesia pada khususnya, dengan latar belakang budaya, bahasa, tradisi, dan
gaya hidup yang berbeda-beda. Secara doktrinal dan kelembagaan gereja yang satu
dapat berbeda dengan gereja yang lain, sesuai dengan situasi dan kondisi
objektif lingkungannya. Namun secara esensial, gereja-gereja ini mengakui
kesatuan atau keesaan mereka di dalam iman kepada Yesus Kristus dan di dalam
panggilan mereka untuk mengabarkan Injil di dalam dunia. Dalam konteks inilah
kita dapat membicarakan konsep dan praktek keesaan gereja.
Dasar
alkitabiah keesaan gereja sering diambil dari beberapa bagian Alkitab, misalnya
I Korintus 12 tentang rupa-rupa karunia, tetapi satu tubuh, Efesus 2 tentang
kasih karunia dan dipersatukan dalam Kristus, I Petrus 2: 1 – 10 tentang Yesus
Kristus sebagai Batu Penjuru, dan beberapa bagian dari perkataan Tuhan Yesus di
dalam kitab Injil. Salah satu perkataan Yesus yang sering dijadikan perspektif
dalam melihat dan menilai praktek keesaan gereja adalah doa Tuhan Yesus di
dalam injil Yohanes pasal 17, khususnya ayat 20-21: “Dan bukan untuk mereka ini saja Aku
berdoa, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepadaKu oleh pemberitaan
mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di
dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia
percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” Bagian alkitab ini
menjadi jiwa dan semangat beberapa lembaga gerakan keesaan seperti GMKI. Karena
itu dalam tulisan singkat ini, kami akan melihat dan menilai gerakkan keesaan
di Indonesia dan di Sulawesi Tengah pada khususnya berdasarkan perspektif
Yohanes 17 tersebut di atas.
2. Konsep Keesaan.
Di
dalam ilmu teologi, konsep keesaan dibicarakan dalam terminology “Oikumene”.
Kata ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu ‘oikos’,
yang berarti rumah atau tempat tinggal, dan ‘menein’,yang berarti mendiami, sehingga secara etimologi oikumene
berarti mendiami rumah atau tempat tinggal secara bersama. Tradisi gereja kemudian
mengembangkan pemaknaan istilah oikumene menjadi “kehidupan dan panggilan
bersama gereja-gereja di dunia melalui sikap dan aktivitas persekutuan,
pelayanan dan kesaksiannya.”[2]
Berdasarkan
kata oikumene tersebut maka kita dapat memaknai gerakan keesaan sebagai sebuah
dinamika gereja Yesus Kristus dalam mewujudkan iman dan panggilannya di
tengah-tengah dunia yang sama. Menurut Dr. J.L. Ch. Abineno, gerakan keesaan
mencakup dua hal mendasar, yaitu pertama pewujudan diri gereja Yesus Kristus
yang esa di dalam iman dan tugas panggilannya di dunia, kedua panggilan untuk
mempersatukan gereja yang telah terpisah-pisah oleh perbedaan budaya, bahasa,
ajaran, dan organisasi, agar gereja tetap esa di dalam Yesus Kristus. Dengan
hal-hal ini maka gerakan keesaan tidak hanya menekankan kesatuan lahiriah dan
organisatoris, melainkan kesatuan dalam pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah
Tuhan dan Juruselamat Dunia serta kesatuan dalam panggilan untuk melayani dunia
ini dengan berlandaskan kasih.[3]
3. Gerakan Keesaan dalam Lintasan Sejarah
Gerakan
keesaan gereja hampir sama tuanya dengan sejarah gereja itu sendiri. Sejak
awal, gereja sudah menghadapi masalah perpecahan, misalnya perpecahan antara
gereja yang beranggotakan orang-orang keturunan Yahudi dan gereja yang
beranggotakan orang-orang keturunan non Yahudi. Pokok persoalan mereka adalah
persoalan apakah adat istiadat Yahudi harus diberlakukan terhadap orang-orang
Kristen non Yahudi atau tidak. Menghadapi persoalan ini, para rasul mengadakan
pertemuan di Yerusalem dan menghasilkan sebuah keputusan yang mengatakan bahwa
orang-orang Kristen non Yahudi tidak diwajibkan untuk melaksanakan adat
istiadat Yahudi (Kisah Rasul 15).[4]
Dengan keputusan itu perpecahan gereja dapat dihindari dan gerakan keesaan
mulai menunjukan fungsinya.
Namun
dalam perkembangan gereja di kemudian hari, perpecahan antara golongan tidak
dapat dihindari. Perbedaan pandangan atas sebuah persoalan dan perbedaan
tafsiran atas sebuah teks menjadi pemicu perpecahan. Pada abad-abad pertama
sudah lahir berbagai aliran di dalam gereja. Momentum ini terus hidup dan
berkembang di sepanjang abad-abad pertengahan hingga pada zaman Reformasi.
Karena itulah sekarang ini kita dapat menemukan adanya berbagai aliran dan
organisasi gereja di seluruh dunia.
Secara garis besar, ada tiga golongan atau aliran gereja di dunia, yaitu
gereja Ortodoks Timur, Gereja Katolik Roma, dan Gereja-Gereja Protestan.
Menjelang
akhir abad ke-19 tumbuh kesadaran oikumenis di kalangan mahasiswa dan pemuda
gereja. Pada tahun 1884 mereka mendirikan sebuah organisasi oikumenis dengan
nama “Young Men’s Christian Association”
(YMCA) yang kemudian disusul dengan “Young
Women’s Christian Association” (YWCA) pada tahun 1855. Kedua organisasi
gerakan keesaan ini kemudian menginspirasi lahirnya “World Federation of Christian Students” pada tahun 1895. Semangat
gerakan keesaan yang dipelopori oleh mahasiswa dan pemuda tersebut mendapat tanggapan positif dari para pemimpin
gereja, sehingga pada tahun 1910 para pemimpin gereja menyadari bahwa walaupun
mereka memiliki organisasi dan ajaran yang berbeda satu sama lain, tetapi
sebagai gereja Yesus Kristus mereka pada hakekatnya adalah satu. Berdasarkan
pengakuan dan kesadaran tersebut maka dilangsungkanlah sebuah konferensi
oikumenis pertama di kota Edinburgh. Peristiwa ini menjadi salah satu momentum
utama bagi gereja di dalam gerakan keesaannya di zaman modern. Hasil dari
konferensi Edinburgh adalah semangat untuk kembali mendekatkan diri satu sama
lain sebagai gereja Yesus Kristus agar tugas pelayanan dan kesaksian dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.[5]
Perlu dicatat bahwa semangat gerakan keesaan gereja tersebut diprakarsai oleh
kalangan mahasiswa dan pemuda gereja. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Dr.
John R. Mott dari “World Student
Christian Federation” (WSCF), seorang mahasiswa Cornell University USA yang
sangat aktif dalam pelayanan dan gerakan keesaan gereja di zamannya. Ia bahkan
pernah mengunjungi Indonesia pada Kongres Pemimpin Pemuda di Bandung dan Yogyakarta (1926) dan menginspirasi
gerakan keesaan di kalangan pemuda dan
mahasiswa Kristen Indonesia dengan semboyan “Ut Omnes Unum Sint” (Yoh. 17:21) hingga dimulailah gerakan-gerakan
keesaan gereja di Indonesia yang dipelopori oleh Mahasiswa Kristen.[6]
Sebagai salah satu hasilnya adalah
berdirinya Persekutuan Mahasiswa Kristen se Jawa yang didirikan pada tanggal 28
Desember 1932 di Kaliurang yang menjadi tunas bagi deklarasi berdirinya Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia pada tanggal 9 Februari 1950.[7]
Semangat gerakan keesaan yang datang ke Indonesia melalui
gerakan-gerakan mahasiswa Kristen mendorong para pemimpin gereja untuk
membentuk sebuah wadah keesaan yang dideklarasikan pada tanggal 25 Mei 1950
dengan nama Dewan Gereja-Gereja di Indonesia. Tujuan dari pada pendirian wadah
gerakan keesaan ini adalah untuk mewujudkan keesaan gereja di dalam
persekutuan, pelayanan, dan kesaksiannya di tengah masyarakat, bangsa, dan
negara kesatuan Republik Indonesia.
4. Gerakan Keesaan dalam Perspektif Yohanes 17.
Yohanes
17 berisikan doa Tuhan Yesus untuk murid-muridNya. Di dalam susunan cerita
injil Yohanes, Tuhan Yesus mendoakan murid-muridNya menjelang Ia ditangkap,
diadili, dan dihukum mati. Artinya doa ini terjadi pada saat yang sangat menegangkan.
Di satu sisi para murid berada dalam perasaan gelisah, takut dan sedih karena
Sang Guru mereka akan ditangkap dan dihukum. Sementara di sisi yang lain, Tuhan
Yesus merasa terharu dan sedih karena akan meninggalkan murid-muridNya dalam
keadaan yang tidak aman. Karena itu di dalam doaNya Tuhan Yesus meminta kepada
BapaNya agar para murid tetap dipelihara di dalam kuasa dan kasih Allah Bapa
dan agar mereka tidak tercerai berai setelah penangkapan dan penyaliban
diriNya. “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam
dunia, dan Aku datang kepadaMu ya Bapa yang Mahakudus, peliharalah mereka dalam
NamaMu, yaitu NamaMu yang telah Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi
satu sama seperti kita”; (Yoh. 17: 11) demikian antara lain doa Tuhan
Yesus. Selanjutnya di dalam ayat 18,
20-21 Tuhan Yesus mengatakan di dalam doaNya: “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula
Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia…. Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk
orang-orang yang percaya kepadaKu oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua
menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,
agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah
mengutus Aku.”
Di
dalam doa ini ada tiga hal yang menarik untuk diperhatikan, yaitu:
a. Supaya
para murid menjadi satu. Kata “satu” yang dipakai dalam teks ini mempunyai
makna menjadi sebuah unit atau format
yang tunggal yang dicirikan oleh persatuan. Artinya, kesatuan yang ditekankan
disini bukanlah kesatuan dalam bentuk peleburan atau percampuran beragam unsur
menjadi satu , melainkan persekutuan dan keesaan. Rasul Paulus menerjemahkan
hal ini di dalam surat Filipi dengan mengatakan: “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,
dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau pujian yang sia-sia. Sebaliknya
dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada
dirinya sendiri.”[8] Dengan demikian, maksud Tuhan Yesus di dalam
doanya adalah agar para murid dapat menyatukan diri mereka menjadi sebuah
sistem yang saling mendukung dan saling tergantung satu sama lain demi
kelangsungan hidup mereka secara bersama. Hal ini dapat dipahami apabila kita
mengingat konteks penulisan Injil Yohanes, yaitu orang-orang Kristen yang terdiri dari keturunan Yahudi dan
keturunan Yunani. Di antara mereka ada kecenderungan untuk memisahkan diri satu
dengan yang lain karena issu perbedaan adat, budaya, bahasa, dan gaya hidup.
Untuk menghindari perpecahan di antara para murid Yesus (baca: orang-orang
Kristen awal) Yohanes menempatkan harapannya di dalam Doa Tuhan Yesus: Ut omnes unum sint: “Supaya mereka semua
menjadi satu.”
b. Rujukan
persekutuan dan persatuan para murid adalah keesaan Tuhan. Dalam hal ini,
penekanan keesaan Tuhan tidak terletak pada kesamaan wujud tetapi pada kesamaan
misi, bahwa apa yang Tuhan Yesus lakukan di dunia adalah misi Sang Bapa itu
sendiri, yaitu misi penyelamatan. Dan selanjutnya apa yang akan dikerjakan oleh
para murid di dalam dunia adalah misi dari Sang Bapa dan Sang Anak. Dengan
demikian, misilah yang telah mempersekutukan dan mempersatukan unsur-unsur ini.
Dengan kata lain, di dalam misi sang Bapa dan Sang Anak sekalian orang percaya terhisab menjadi satu
unit atau satu sistem yang saling mendukung dan melengkapi.
c. Dengan
adanya persekutuan dan persatuan di antara para murid, maka dunia akan percaya
akan kebenaran misi mereka. Atau dengan kata lain, persekutuan dan persatuan di
antara para murid atau orang-orang Kristen adalah bagian dari misi itu sendiri.
Jadi, misi tidak dapat dilepaskan dari persatuan dan persekutuan murid-murid
Tuhan Yesus (boleh dibaca: gereja), dan sebaliknya persekutuan murid-murid
Tuhan Yesus adalah bagian dari misi itu sendiri.
5. Kesimpulan
Berdasarkan pendalaman
Yohanes 17 tersebut di atas, maka dapat disimpulkanbahwa:
Ø Gerakan keesaan gereja bukanlah pertama-tama
soal peleburan dan penyeragaman hal-hal yang bersifat sosial budaya dan
organisasi kelembagaan. Akan tetapi yang terutama adalah kesatuan jiwa dan
semangat (Spirit atau Roh) sebagai sebuah sistem atau sebuah unit yang saling
mendukung dan melengkapi. Contoh sederhana tentang hal ini dapat dilihat dalam
nasehat rasul Paulus di dalam surat I Korintus 12 tentang rupa-rupa karunia
tetapi satu Roh dan ada banyak anggota tetapi hanya satu Tubuh. Setiap orang Kristen memiliki atribut sosial
budaya yang beraneka ragam. Semua itu adalah karunia Tuhan bagi gereja itu
sendiri. Menghilangkan keragaman atribut sosial budaya atau meyeragamkannya
menjadi satu bukanlah esensi gerakan keesaan yang benar.
Ø Keesaan
gereja diikat oleh credo yang sama terhadap Sang Bapa dan Sang Anak. Artinya
oleh imannya kepada Allah Bapa melalui AnakNya Yesus Kristus, orang-orang
Kristen diesakan menjadi gereja yang kudus dan am dan rasuli. Atau dengan kata
lain, keesaan gereja bukan ditentukan oleh kesamaan atribut budaya, bahasa,
adat istiadat, gaya hidup, atau organisasi sekalipun. Akan tetapi keesaan
gereja terletak pada atribut pengakuan imannya terhadap Tuhan yang sama di
dalam Yesus Kristus. Karena itu perjuangan gereja untuk keesaan bukanlah
pertama-tama persoalan kesamaan atau keseragaman atribut-atribut sosial budaya,
melainkan kesamaan pengakuan percaya dan tugas panggilannya di dunia ini.
Ø Keesaan
gereja terletak pada misi gereja itu sendiri. Misi lah yang mempersatukan
gereja. Bila gereja giat di dalam tugasnya untuk memberitakan kasih dan
keselamatan yang telah dikerjakan Tuhan melalui Yesus Kristus, maka hal itulah
yang membuat dia esa. Sebagai contoh, apabila gereja atas dasar pengakuannya
terhadap Tuhan Yesus Kristus giat mewujudkan kasih di tengah kemiskinan,
ketidakadilan, dan penderitaan masyarakat, maka pada saat itulah dia mewujudkan
keesaannya.
ÿ
Referensi:
Abineno, J.J. Ch. Oikumene dan Gerakan Oikumene. (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1984)
De Jonge, Christian. Menuju Keesaan Gereja. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993)
Marantika, S. Ekumene dalam Pembangunan Bangsa.
(Jakarta: Sinar Harapan, 1983)
Visser’t, Hooft. Gerakan Oikumenis dan Masa Depannya.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977)
[1]
Pendeta Jemaat GKST Imanuel Palu.
[2]
Chris Hartono, Gerakan Oikumenis di
Indonesia. (Yogyakarta: PPIP UKDW, 1984), hal. 1
[3]
Dr. J.L. Ch. Abineno, Oikumene dan
gerakan Oikumene. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hal. 10.
[4]
Lihat Kisah Rasul 15: 1 – 21 tentang Sidang di Yerusalem.
[5]
Dr. W.A. Visser’t Hooft, Gerakan
Oikumenis dan Masa Depannya. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977), hal. 14.
[6]
Ds. S. Marantika, Ekumene dalam
Pembangunan Bangsa. (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hal. 24.
[7]
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Mahasiswa_Kristen_Indonesia
( Diunduh pada: Selasa, 9 Februari 2010, 15.00)
[8]
Surat Filipi pasal 2: 1-4.