Minggu, 29 September 2013

KEESAAN GEREJA



KEESAAN GEREJA DALAM PERSPEKTIF YOHANES 17
Oleh Pdt. Yuliana Tacoh, S.PAK., M.Pd[1]

1.      Pendahuluan
Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus. Ia lahir seiring kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus di dunia. Karena itu, apa yang disebut gereja perdana adalah persekutuan para murid Yesus dan ditambah dengan beberapa orang lain yang telah mengaku Yesus sebagai Tuhan dan menjadi saksi atas kebangkitanNya. Gereja perdana ini memiliki semangat persekutuan, pelayanan, dan kesaksian  yang kuat, sehingga iman Kristen mulai tersebar dari Yerusalem, seluruh daerah Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung dunia (Kis. 1:8). Salah seorang murid Yesus yang giat dalam pekabaran Injil ini adalah rasul Paulus. Ia mengabarkan Injil hampir di seluruh wilayah kekuasaan Romawi pada abad pertama, baik di kalangan orang-orang Yahudi diaspora maupun orang-orang bukan Yahudi. Selain rasul Paulus, para murid yang lain juga aktif mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Konon rasul Thomas mengabarkan Injil sampai ke India. Karena itu, pada akhir abad pertama dan memasuki abad kedua, sejumlah jemaat-jemaat Kristen lahir dan bertumbuh di seluruh wilayah kekuasaan Romawi, dengan latar belakang suku bangsa, bahasa, dan tradisi yang berbeda. Namun demikian, jemaat-jemaat ini mengakui keesaan mereka di dalam iman kepada Yesus Kristus dan di dalam tugas panggilan mereka untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani sebagai jemaat-jemaat Kristen. Jadi, keesaan mereka pertama-tama terletak pada iman mereka kepada Yesus Kristus dan panggilan mereka untuk bersaksi di dalam dunia.
Dalam abad-abad selanjutnya iman Kristen terus bergerak meluas ke Afrika dan Eropa. Pada periode penjelajahan Samudra di akhir abad pertengahan, iman Kristen bergerak dari Eropa dan menyebar di wilayah Asia termasuk Indonesia. Hasilnya adalah bertumbuhnya sejumlah besar gereja dan jemaat lokal di Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, dengan latar belakang budaya, bahasa, tradisi, dan gaya hidup yang berbeda-beda. Secara doktrinal dan kelembagaan gereja yang satu dapat berbeda dengan gereja yang lain, sesuai dengan situasi dan kondisi objektif lingkungannya. Namun secara esensial, gereja-gereja ini mengakui kesatuan atau keesaan mereka di dalam iman kepada Yesus Kristus dan di dalam panggilan mereka untuk mengabarkan Injil di dalam dunia. Dalam konteks inilah kita dapat membicarakan konsep dan praktek keesaan gereja.
Dasar alkitabiah keesaan gereja sering diambil dari beberapa bagian Alkitab, misalnya I Korintus 12 tentang rupa-rupa karunia, tetapi satu tubuh, Efesus 2 tentang kasih karunia dan dipersatukan dalam Kristus, I Petrus 2: 1 – 10 tentang Yesus Kristus sebagai Batu Penjuru, dan beberapa bagian dari perkataan Tuhan Yesus di dalam kitab Injil. Salah satu perkataan Yesus yang sering dijadikan perspektif dalam melihat dan menilai praktek keesaan gereja adalah doa Tuhan Yesus di dalam injil Yohanes pasal 17, khususnya ayat 20-21: “Dan bukan untuk mereka ini saja  Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepadaKu oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” Bagian alkitab ini menjadi jiwa dan semangat beberapa lembaga gerakan keesaan seperti GMKI. Karena itu dalam tulisan singkat ini, kami akan melihat dan menilai gerakkan keesaan di Indonesia dan di Sulawesi Tengah pada khususnya berdasarkan perspektif Yohanes 17 tersebut di atas.
2. Konsep Keesaan.
Di dalam ilmu teologi, konsep keesaan dibicarakan dalam terminology “Oikumene”. Kata ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu  oikos’, yang berarti rumah atau tempat tinggal, dan ‘menein’,yang berarti mendiami, sehingga secara etimologi oikumene berarti mendiami rumah atau tempat tinggal secara bersama. Tradisi gereja kemudian mengembangkan pemaknaan istilah oikumene menjadi “kehidupan dan panggilan bersama gereja-gereja di dunia melalui sikap dan aktivitas persekutuan, pelayanan dan kesaksiannya.”[2]  
Berdasarkan kata oikumene tersebut maka kita dapat memaknai gerakan keesaan sebagai sebuah dinamika gereja Yesus Kristus dalam mewujudkan iman dan panggilannya di tengah-tengah dunia yang sama. Menurut Dr. J.L. Ch. Abineno, gerakan keesaan mencakup dua hal mendasar, yaitu pertama pewujudan diri gereja Yesus Kristus yang esa di dalam iman dan tugas panggilannya di dunia, kedua panggilan untuk mempersatukan gereja yang telah terpisah-pisah oleh perbedaan budaya, bahasa, ajaran, dan organisasi, agar gereja tetap esa di dalam Yesus Kristus. Dengan hal-hal ini maka gerakan keesaan tidak hanya menekankan kesatuan lahiriah dan organisatoris, melainkan kesatuan dalam pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat Dunia serta kesatuan dalam panggilan untuk melayani dunia ini dengan berlandaskan kasih.[3]
3. Gerakan Keesaan dalam Lintasan Sejarah
Gerakan keesaan gereja hampir sama tuanya dengan sejarah gereja itu sendiri. Sejak awal, gereja sudah menghadapi masalah perpecahan, misalnya perpecahan antara gereja yang beranggotakan orang-orang keturunan Yahudi dan gereja yang beranggotakan orang-orang keturunan non Yahudi. Pokok persoalan mereka adalah persoalan apakah adat istiadat Yahudi harus diberlakukan terhadap orang-orang Kristen non Yahudi atau tidak. Menghadapi persoalan ini, para rasul mengadakan pertemuan di Yerusalem dan menghasilkan sebuah keputusan yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen non Yahudi tidak diwajibkan untuk melaksanakan adat istiadat Yahudi (Kisah Rasul 15).[4] Dengan keputusan itu perpecahan gereja dapat dihindari dan gerakan keesaan mulai menunjukan fungsinya.
Namun dalam perkembangan gereja di kemudian hari, perpecahan antara golongan tidak dapat dihindari. Perbedaan pandangan atas sebuah persoalan dan perbedaan tafsiran atas sebuah teks menjadi pemicu perpecahan. Pada abad-abad pertama sudah lahir berbagai aliran di dalam gereja. Momentum ini terus hidup dan berkembang di sepanjang abad-abad pertengahan hingga pada zaman Reformasi. Karena itulah sekarang ini kita dapat menemukan adanya berbagai aliran dan organisasi gereja di seluruh dunia.  Secara garis besar, ada tiga golongan atau aliran gereja di dunia, yaitu gereja Ortodoks Timur, Gereja Katolik Roma, dan Gereja-Gereja Protestan.
Menjelang akhir abad ke-19 tumbuh kesadaran oikumenis di kalangan mahasiswa dan pemuda gereja. Pada tahun 1884 mereka mendirikan sebuah organisasi oikumenis dengan nama “Young Men’s Christian Association” (YMCA) yang kemudian disusul dengan “Young Women’s Christian Association” (YWCA) pada tahun 1855. Kedua organisasi gerakan keesaan ini kemudian menginspirasi lahirnya “World Federation of Christian Students” pada tahun 1895. Semangat gerakan keesaan yang dipelopori oleh mahasiswa dan pemuda tersebut  mendapat tanggapan positif dari para pemimpin gereja, sehingga pada tahun 1910 para pemimpin gereja menyadari bahwa walaupun mereka memiliki organisasi dan ajaran yang berbeda satu sama lain, tetapi sebagai gereja Yesus Kristus mereka pada hakekatnya adalah satu. Berdasarkan pengakuan dan kesadaran tersebut maka dilangsungkanlah sebuah konferensi oikumenis pertama di kota Edinburgh. Peristiwa ini menjadi salah satu momentum utama bagi gereja di dalam gerakan keesaannya di zaman modern. Hasil dari konferensi Edinburgh adalah semangat untuk kembali mendekatkan diri satu sama lain sebagai gereja Yesus Kristus agar tugas pelayanan dan kesaksian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.[5] Perlu dicatat bahwa semangat gerakan keesaan gereja tersebut diprakarsai oleh kalangan mahasiswa dan pemuda gereja. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Dr. John R. Mott dari “World Student Christian Federation” (WSCF), seorang mahasiswa Cornell University USA yang sangat aktif dalam pelayanan dan gerakan keesaan gereja di zamannya. Ia bahkan pernah mengunjungi Indonesia pada Kongres Pemimpin Pemuda di Bandung  dan Yogyakarta (1926) dan menginspirasi gerakan keesaan di kalangan pemuda dan  mahasiswa Kristen Indonesia dengan semboyan “Ut Omnes Unum Sint” (Yoh. 17:21) hingga dimulailah gerakan-gerakan keesaan gereja di Indonesia yang dipelopori oleh Mahasiswa Kristen.[6]  Sebagai salah satu hasilnya adalah berdirinya Persekutuan Mahasiswa Kristen se Jawa yang didirikan pada tanggal 28 Desember 1932 di Kaliurang yang menjadi tunas bagi deklarasi berdirinya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia pada tanggal 9 Februari 1950.[7]
            Semangat gerakan keesaan yang datang ke Indonesia melalui gerakan-gerakan mahasiswa Kristen mendorong para pemimpin gereja untuk membentuk sebuah wadah keesaan yang dideklarasikan pada tanggal 25 Mei 1950 dengan nama Dewan Gereja-Gereja di Indonesia. Tujuan dari pada pendirian wadah gerakan keesaan ini adalah untuk mewujudkan keesaan gereja di dalam persekutuan, pelayanan, dan kesaksiannya di tengah masyarakat, bangsa, dan negara kesatuan Republik Indonesia.
4. Gerakan Keesaan dalam Perspektif Yohanes 17.
Yohanes 17 berisikan doa Tuhan Yesus untuk murid-muridNya. Di dalam susunan cerita injil Yohanes, Tuhan Yesus mendoakan murid-muridNya menjelang Ia ditangkap, diadili, dan dihukum mati. Artinya doa ini terjadi pada saat yang sangat menegangkan. Di satu sisi para murid berada dalam perasaan gelisah, takut dan sedih karena Sang Guru mereka akan ditangkap dan dihukum. Sementara di sisi yang lain, Tuhan Yesus merasa terharu dan sedih karena akan meninggalkan murid-muridNya dalam keadaan yang tidak aman. Karena itu di dalam doaNya Tuhan Yesus meminta kepada BapaNya agar para murid tetap dipelihara di dalam kuasa dan kasih Allah Bapa dan agar mereka tidak tercerai berai setelah penangkapan dan penyaliban diriNya.  Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepadaMu ya Bapa yang Mahakudus, peliharalah mereka dalam NamaMu, yaitu NamaMu yang telah Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu sama seperti kita”; (Yoh. 17: 11) demikian antara lain doa Tuhan Yesus.  Selanjutnya di dalam ayat 18, 20-21 Tuhan Yesus mengatakan di dalam doaNya: “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia…. Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepadaKu oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”
Di dalam doa ini ada tiga hal yang menarik untuk diperhatikan, yaitu:
a.      Supaya para murid menjadi satu. Kata “satu” yang dipakai dalam teks ini mempunyai makna  menjadi sebuah unit atau format yang tunggal yang dicirikan oleh persatuan. Artinya, kesatuan yang ditekankan disini bukanlah kesatuan dalam bentuk peleburan atau percampuran beragam unsur menjadi satu , melainkan persekutuan dan keesaan. Rasul Paulus menerjemahkan hal ini di dalam surat Filipi dengan mengatakan: “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau pujian yang sia-sia. Sebaliknya dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.[8]   Dengan demikian, maksud Tuhan Yesus di dalam doanya adalah agar para murid dapat menyatukan diri mereka menjadi sebuah sistem yang saling mendukung dan saling tergantung satu sama lain demi kelangsungan hidup mereka secara bersama. Hal ini dapat dipahami apabila kita mengingat konteks penulisan Injil Yohanes, yaitu orang-orang Kristen  yang terdiri dari keturunan Yahudi dan keturunan Yunani. Di antara mereka ada kecenderungan untuk memisahkan diri satu dengan yang lain karena issu perbedaan adat, budaya, bahasa, dan gaya hidup. Untuk menghindari perpecahan di antara para murid Yesus (baca: orang-orang Kristen awal) Yohanes menempatkan harapannya di dalam Doa Tuhan Yesus: Ut omnes unum sint: “Supaya mereka semua menjadi satu.”
b.      Rujukan persekutuan dan persatuan para murid adalah keesaan Tuhan. Dalam hal ini, penekanan keesaan Tuhan tidak terletak pada kesamaan wujud tetapi pada kesamaan misi, bahwa apa yang Tuhan Yesus lakukan di dunia adalah misi Sang Bapa itu sendiri, yaitu misi penyelamatan. Dan selanjutnya apa yang akan dikerjakan oleh para murid di dalam dunia adalah misi dari Sang Bapa dan Sang Anak. Dengan demikian, misilah yang telah mempersekutukan dan mempersatukan unsur-unsur ini. Dengan kata lain, di dalam misi sang Bapa dan Sang Anak  sekalian orang percaya terhisab menjadi satu unit atau satu sistem yang saling mendukung dan melengkapi.
c.       Dengan adanya persekutuan dan persatuan di antara para murid, maka dunia akan percaya akan kebenaran misi mereka. Atau dengan kata lain, persekutuan dan persatuan di antara para murid atau orang-orang Kristen adalah bagian dari misi itu sendiri. Jadi, misi tidak dapat dilepaskan dari persatuan dan persekutuan murid-murid Tuhan Yesus (boleh dibaca: gereja), dan sebaliknya persekutuan murid-murid Tuhan Yesus adalah bagian dari misi itu sendiri.
5. Kesimpulan
Berdasarkan pendalaman Yohanes 17 tersebut di atas, maka dapat disimpulkanbahwa:
Ø   Gerakan keesaan gereja bukanlah pertama-tama soal peleburan dan penyeragaman hal-hal yang bersifat sosial budaya dan organisasi kelembagaan. Akan tetapi yang terutama adalah kesatuan jiwa dan semangat (Spirit atau Roh) sebagai sebuah sistem atau sebuah unit yang saling mendukung dan melengkapi. Contoh sederhana tentang hal ini dapat dilihat dalam nasehat rasul Paulus di dalam surat I Korintus 12 tentang rupa-rupa karunia tetapi satu Roh dan ada banyak anggota tetapi hanya satu Tubuh.  Setiap orang Kristen memiliki atribut sosial budaya yang beraneka ragam. Semua itu adalah karunia Tuhan bagi gereja itu sendiri. Menghilangkan keragaman atribut sosial budaya atau meyeragamkannya menjadi satu bukanlah esensi gerakan keesaan yang benar.
Ø  Keesaan gereja diikat oleh credo yang sama terhadap Sang Bapa dan Sang Anak. Artinya oleh imannya kepada Allah Bapa melalui AnakNya Yesus Kristus, orang-orang Kristen diesakan menjadi gereja yang kudus dan am dan rasuli. Atau dengan kata lain, keesaan gereja bukan ditentukan oleh kesamaan atribut budaya, bahasa, adat istiadat, gaya hidup, atau organisasi sekalipun. Akan tetapi keesaan gereja terletak pada atribut pengakuan imannya terhadap Tuhan yang sama di dalam Yesus Kristus. Karena itu perjuangan gereja untuk keesaan bukanlah pertama-tama persoalan kesamaan atau keseragaman atribut-atribut sosial budaya, melainkan kesamaan pengakuan percaya dan tugas panggilannya di dunia ini.
Ø  Keesaan gereja terletak pada misi gereja itu sendiri. Misi lah yang mempersatukan gereja. Bila gereja giat di dalam tugasnya untuk memberitakan kasih dan keselamatan yang telah dikerjakan Tuhan melalui Yesus Kristus, maka hal itulah yang membuat dia esa. Sebagai contoh, apabila gereja atas dasar pengakuannya terhadap Tuhan Yesus Kristus giat mewujudkan kasih di tengah kemiskinan, ketidakadilan, dan penderitaan masyarakat, maka pada saat itulah dia mewujudkan keesaannya.

ÿ

Referensi:
Abineno, J.J. Ch. Oikumene dan Gerakan Oikumene. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984)
De Jonge, Christian. Menuju Keesaan Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993)
Marantika, S. Ekumene dalam Pembangunan Bangsa. (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)
Visser’t, Hooft. Gerakan Oikumenis dan Masa Depannya. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977)


[1] Pendeta  Jemaat GKST Imanuel Palu.
[2] Chris Hartono, Gerakan Oikumenis di Indonesia. (Yogyakarta: PPIP UKDW, 1984), hal. 1
[3] Dr. J.L. Ch. Abineno, Oikumene dan gerakan Oikumene. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hal. 10.
[4] Lihat Kisah Rasul 15: 1 – 21 tentang Sidang di Yerusalem.
[5] Dr. W.A. Visser’t Hooft, Gerakan Oikumenis dan Masa Depannya. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977), hal. 14.
[6] Ds. S. Marantika, Ekumene dalam Pembangunan Bangsa. (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hal. 24.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Mahasiswa_Kristen_Indonesia ( Diunduh pada: Selasa, 9 Februari 2010, 15.00)
[8] Surat Filipi pasal 2: 1-4.

HAKEKAT GEREJA



Makna dan Hakekat Gereja
Oleh: Pdt. Daudi Rachmat
Pengertian Gereja di mata orang awam seringkali salah. Hal tersebut dikarenakan kita selalu memandang segala sesuatu dari yang kelihatan. Sehingga tatkala orang-orang yang membenci kekristenan membakar gereja, mereka berpikir bahwa pekerjaan Kristen akan terhambat, padahal tidak. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana beberapa gereja di Jl. Ketapang dan sekitarnya dibakar. Bahkan hingga kini mereka belum lagi memiliki gedung untuk beribadah. Dalih apa pun yang digunakan dalam insiden pembakaran itu menunjukan bahwa memang ada indikasi orang yang berusaha membakar menyangka mereka akan berhasil jika mereka dapat membakar gereja.

Padahal dalam Perjanjian Baru, pengertian gereja bukan tempatnya, melainkan manusianya. Bahkan dalam bahasa Yunani, gereja dikatakan sebagai ekklesia atau kira-kira artinya adalah sekumpulan orang yang dipanggil keluar dari dalam kegelapan untuk masuk ke dalam terang. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus sampai dua kali menekankan tentang makna gereja. Menurut Paulus, Gereja berarti orang yang ditebus oleh darah Kristus. Hal itu berarti bahwa setiap orang Kristen adalah gereja. Yang kedua, gereja berbicara tentang relasi atau hubungan kita dengan Allah. Artinya dalam kehidupan bergereja, selalu melibatkan Tuhan di dalamnya. Sehingga jika timbul masalah, masalah itu harus diserahkan kepada Tuhan, bukannya semata-mata menjadi masalahku atau masalahmu. Hal terakhir inilah yang sering menimbulkan perpecahan dalam gereja. Dan yang ketiga, Gereja berarti melaksanakan kehendak Allah. Jelas yang dilaksanakan adalah kehendak Allah, bukannya kehendak manusia.

Banyak gereja-gereja yang ada di gang-gang atau di jalan yang kecil dan sempit. Kemudian ada pejabat daerah yang tidak suka, kemudian mereka menutupnya. Mereka berpikir, dengan ditutup, Gereja Tuhan akan lenyap. Mereka keliru, yang ditutup itu gedung gereja setempatnya, bukan gereja Tuhan.

Hakekat Gereja Tuhan tercermin dalam Pengakuan Iman Rasuli. Salah satu ayatnya berbunyi, "Aku percaya kepada Gereja yang kudus dan am." Am berarti universal atau umum. Jadi Gereja Tuhan bersifat universal. Untuk dapat melihatnya, kita perlu mengganti kaca mata kita. Kita harus melihat dari sudut pandang Tuhan. Tanpa hal ini akan timbul kesombongan rohani, di mana gereja yang besar akan menjadi sombong dan yang kecil akan menjadi minder. Padahal hakekatnya Gereja Tuhan adalah gereja yang kudus, am dan rasuli. Bahkan dalam kitab Wahyu dikatakan bahwa dari berbagai suku bangsa dan bahasa datang ke hadapan Anak Domba Allah untuk menyembah-Nya. Berarti gereja lokal, baik yang besar maupun yang kecil adalah bagian dari gereja yang am atau universal, namun juga bagian dari sinode yang menaunginya. Karena Sinode yang menaunginya juga merupakan bagian dari gereja yang am.

Dewasa ini di dunia sudah terjadi suatu perubahan konsep dalam cara berpikir. Dahulu, jika suatu negara mengalami suatu masalah, maka negara lain tidak boleh membantu dengan alasan jangan campuri urusan dalam negeri. Saat itu konsep bangsa dan negara sangat ditekankan. Tetapi sekarang pandangan itu sudah mulai berubah. Karena hal yang terpenting di dunia adalah manusianya. Ini adalah suatu perubahan besar dalam sejarah kebudayaan dan peradaban manusia. Jadi apabila terjadi suatu pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di suatu negara, maka negara lain akan ikut campur demi kesejahteraan manusia di negara tersebut. Yang ditekankan ialah kemanusiaannya, bukan warna kulit dan batas negara.

Namun pemikiran ini sepertinya sangat sulit diterapkan oleh orang Kristen dan antar denominasi. Memang gedung dan identitas (papan nama) penting, tetapi itu bukan yang terpenting. Karena barangsiapa ada di dalam Kristus, mereka adalah anak-anak Allah dan Bait Roh Kudus. Jadi kita tidak bisa menutup mata terhadap kebersamaan tubuh Kristus yang Am. Terkadang masalah gereja terlalu membumi. Artinya hanya mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan organisasi, dan lain-lain. Tetapi masalah yang terbesar ialah orang Kristen seringkali kehilangan "Kesadaran Bertuhan." Kesadaran Bertuhan adalah kesadaran orang Kristen untuk menyembah Tuhan dalam Roh dan kebenaran, bukan hanya orang yang menjalankan hidup beragama saja.

Apa artinya? Menjalankan kehidupan beragama artinya menjalankan kehidupan sesuai dengan norma agama. Misalnya tidak melakukan perbuatan yang mengakibatkan dosa, melayani Tuhan atau mengikuti kebaktian. Tetapi kita lupa siapa yang kita sembah. Hidup sebagai orang Kristen itu susah-susah gampang. Orang Kristen harus punya pemahaman dan penghayatan tentang Allah. Prosesnya dari otak turun ke hati. Jadi setelah mengerti siapa Allah, kita harus merasakan keberadaan Allah dan karya-Nya. Kesulitan terbesar bagi orang Kristen mungkin adalah karena Allah itu tidak bisa dijamah dan tidak kelihatan. Sebagai manusia kita cenderung ingin melihat bentuk fisik tatkala kita melakukan interaksi. Dan menghayati Tuhan sebagai Roh itu sulit sekali. Kesadaran bahwa Dia ada dan hadir perlu ditingkatkan.

Kita harus menghayati Gereja Tuhan agar kita dapat bertumbuh ke arah kesempurnaan Kristus. Biarpun Allah tidak bisa disentuh, tetapi Allah bisa dihayati. Namun yang paling menyedihkan ialah dalam menyembah Tuhan, kita seringkali melupakan keberadaan Tuhan. Maksudnya kita mungkin menyanyi memuji Tuhan, tetapi hanya nyanyian hampa tanpa perasaan, atau mungkin sambil tertawa atau mungkin dengan sikap yang tidak semestinya. Dengan demikian kita sudah melupakan keberadaan Tuhan. Oleh sebab itu orang Katolik membuat patung yang seperti Yesus dengan tujuan agar dapat merasakan kehadiran dan dekat dengan yang disembah. Tetapi malah patung-patung itu yang dianggap memiliki kuasa dan terjadi penyembahan patung.

Kita harus menyadari dan menyelami Allah yang ada walaupun sepertinya tidak ada. Karena di gereja sepertinya sering tidak ada Tuhan. Tuhan tidak turut dilibatkan dalam masalah yang timbul. Masalah yang ada hanya masalah antara kau dan aku, bukannya melibatkan Tuhan.

Terakhir, Tuhan berjanji dalam Yesaya 40:9-11, khususnya ayat 11. Sebagai gembala, Tuhan tetap akan senantiasa menggembalakan umat-Nya. Anak domba akan dipangkunya dan induk domba akan dituntunnya. Simpanlah janji Tuhan ini dalam hati. Biarlah warga jemaat Gepembri, dengan iman, berpegang pada janji ini dan terus bertumbuh ke arah Kristus.